Kalau kita perhatikan sekarang ini merupakan saat yang tepat dan tidak dapat ditunda-tunda lagi dalam peningkatan pendidikan mengejar ketertinggalan kita. Mumpung anggaran pemerintah ke arah pendidikan paling besar (20% APBN) sehingga dapat mewujudkan masa depan yang lebih baik.
20 tahun yang akan datang merupakan hasil pendidikan dijaman sekarang ini, bagaimana berjalannya Negara ini dan bagaimana pemimpin kelak maka hari ini merupakan tolak ukurnya. Jangan terlalu memikirkan masa lalu, beri garis mulai hari ini kita semua akan lebih baik. Investasi yang paling baik adalah pendidikan bangsa (Education Country). Semoga semua pihak bisa memanfaatkan kondisi sekarang ini menjadikan tombak perubahan bangsa. Kita PASTI BISA, dengan segala apa yang kita punya..!
28 February, 2010
22 February, 2010
TEMPE Tetap Milik Indonesia
Mungkin Teman-teman semua pernah mendengar bahwa Tempe sudah dipatenkan oleh Jepang, ternyata tidak, Jepang hanya mematenkan olahan burgernya, bukan tempenya ! Darimana saya tahu tentang masalah ini. berikut kutipan (kompas) dari King of Tempe dari Indonesia yang tinggal di Jepang dan telah berhasil punya pabrik tempe :
Rustono, "King of Tempe" Jepang dari Grobogan
GM SUDARTA
Perjalanan dalam udara dingin musim gugur ke daerah pegunungan di Katsuragawa yang terletak sekitar 30 kilometer dari Kyoto adalah perjalanan yang menyajikan keindahan alam Jepang.
Jalan menanjak berliku dihiasi pepohonan momiji yang daunnya mulai memerah cerah di sepanjang jalan. Kabut meliputi puncak-puncak gunung dan hutan pinus lalu berakhir di sebuah lembah hijau. Rumah tradisional Jepang beratap rumbia tebal masih tampak di sana-sini dengan tamannya yang khas seakan bersatu dengan alam. Itulah awal perjumpaan saya dengan Rustono (41), sang Raja Tempe, sebagaimana teman-teman Jepang menyebutnya.
Di kawasan desa yang indah inilah konotasi yang menyepelekan tempe, seperti sebutan bangsa tempe atau mental tempe, sirna. Dari sinilah tempe mulai dikenal dan merambah hampir ke seluruh Jepang. Kemasan seberat 200 gram dengan label Rusto’s Tempeh bergambar ilustrasi suasana kehidupan kampung di Jawa tersebar di berbagai toko swalayan di Jepang.
Sebuah rumah tradisional Jepang, cagar budaya yang telah berusia dua abad, adalah tempat perjanjian saya bertemu dengan Rustono. Ketika kaki mulai melangkah memasuki gerbang kayu di halaman berpagar bambu, terdengar tiupan saksofon sopran yang mendendangkan lagu ”Going Home” dari Kenny G.
Rupanya sang raja sedang asyik melantunkan lagu penuh kerinduan yang menghanyutkan itu dengan duduk santai di batu besar di tengah taman di bawah rindangnya pohon momiji, ditingkah suara gemercik sungai jernih yang membelah desa, ditemani sang istri di sampingnya.
Semangat dari kerinduan
”Kampung halaman di tanah kelahiran memang selalu mendatangkan rindu,” Rustono menjelaskan ketika ditanya tentang lagu favoritnya itu. ”Dan berdendang dengan tiupan saksofon adalah alunan suara jiwa paling dalam,” tambahnya.
Kerinduan akan tanah kelahiran di sebuah kota kecil Grobogan, nun jauh di pedalaman Jawa Tengah dengan hamparan sawah dan hutan jati, rupanya masih saja mengusik Rustono meskipun sudah 13 tahun dia menetap di Jepang.
Bagi Rustono yang alumnus Akademi Perhotelan Sahid (masuk tahun 1987), kerinduan tersebut bukanlah bernuansa sendu berlarut-larut, melainkan pembawa semangat menentukan keputusan jalan hidup.
Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta, perubahan jalan hidup mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya, seorang bidadari dari Negeri Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai berkulit kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk sebelah tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang dan mulai menempuh hidup barunya di Kyoto.
Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti sampai ke perusahaan sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan etos kerja karyawan Jepang. Selain penuh tanggung jawab, mereka juga berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga kualitas produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik memeriksa kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan kebersihan ruangan, termasuk peralatan dan meja kerja.
Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan diproduksi di Jepang dan industrinya sangat maju. Terbetik dalam pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang belum ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.
Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah dia kenal. Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat tempe, dengan ragi dari Indonesia dan kedelai Jepang, tetapi selalu gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber mata air di kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.
Perjalanan panjang
Jalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah panjang dan terjal. Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe, dia belum yakin benar. Pastilah itu bukan hanya karena menggunakan air asli dari mata air langsung.
Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan izin istrinya Rustono kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin tempe di seluruh Jawa.
Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia pembuatan tempe, tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman para perajin tempe di Jawa Tengah. Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus dengan daun bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.
Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan bertanggung jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan bahwa kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging, termasuk mematuhi peraturan daur ulang kemasan.
Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal menghadapi iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah di Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai kelembaban udara yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi, lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia bisa mengatur kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.
Peralatan produksi juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci kedelai dia modifikasi dari bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia dapat dari perusahaan perikanan. Begitu pula untuk pengemasan, dia datangkan mesin bikinan Bantul dan Surabaya.
The King of Tempe
Meskipun julukan ini hanya gurauan teman-teman sejawatnya, rasanya memang tak ada yang salah. Kini kapasitas produksi Rustono setiap lima hari bisa mencapai 16.000 bungkus tempe dengan kemasan 200 gram. Untuk mendukung produksi, dia mengadakan kontrak kerja sama dengan petani kedelai di Nagahama, kawasan Shiga.
Dari peta penyebaran Rusto’s Tempeh yang tertera di ruang kerjanya, terlihat konsumennya tersebar di kota-kota hampir seluruh Jepang. Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan masyarakat Jepang sendiri, konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.
Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran dari pintu ke pintu. Rumah produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan dan tanpa pemikiran arsitektural, tetapi hanya dengan intuisi yang mirip intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang Rustono mencapai taraf pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata air, di atas lahan 1.000 meter persegi.
Penghargaan
Di Jepang sudah banyak buku mengupas tentang tempe. Di antaranya yang terkenal adalah The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap dengan uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar belakang budaya Indonesia, terutama Jawa.
Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi. Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe. Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.
Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan berbagai bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe dan tempura tempe. Yang paling terkenal adalah burger tempe.
Mereka memperkenalkan tempe dengan semboyan ”Makanan enak belum tentu menyehatkan, makanan tidak enak bisa menyehatkan. Tetapi, makanan enak dan menyehatkan adalah tempe!” Terberitakan pula sebuah perusahaan kosmetik memproduksi bahan kecantikan dengan jamur hasil fermentasi tempe ke dalam kapsul yang konon bisa menghaluskan kulit.
Soal hak paten yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang, Rustono menjelaskan, ”Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan burgernya, bukan tempenya.”
Rustono, "King of Tempe" Jepang dari Grobogan
GM SUDARTA
Perjalanan dalam udara dingin musim gugur ke daerah pegunungan di Katsuragawa yang terletak sekitar 30 kilometer dari Kyoto adalah perjalanan yang menyajikan keindahan alam Jepang.
Jalan menanjak berliku dihiasi pepohonan momiji yang daunnya mulai memerah cerah di sepanjang jalan. Kabut meliputi puncak-puncak gunung dan hutan pinus lalu berakhir di sebuah lembah hijau. Rumah tradisional Jepang beratap rumbia tebal masih tampak di sana-sini dengan tamannya yang khas seakan bersatu dengan alam. Itulah awal perjumpaan saya dengan Rustono (41), sang Raja Tempe, sebagaimana teman-teman Jepang menyebutnya.
Di kawasan desa yang indah inilah konotasi yang menyepelekan tempe, seperti sebutan bangsa tempe atau mental tempe, sirna. Dari sinilah tempe mulai dikenal dan merambah hampir ke seluruh Jepang. Kemasan seberat 200 gram dengan label Rusto’s Tempeh bergambar ilustrasi suasana kehidupan kampung di Jawa tersebar di berbagai toko swalayan di Jepang.
Sebuah rumah tradisional Jepang, cagar budaya yang telah berusia dua abad, adalah tempat perjanjian saya bertemu dengan Rustono. Ketika kaki mulai melangkah memasuki gerbang kayu di halaman berpagar bambu, terdengar tiupan saksofon sopran yang mendendangkan lagu ”Going Home” dari Kenny G.
Rupanya sang raja sedang asyik melantunkan lagu penuh kerinduan yang menghanyutkan itu dengan duduk santai di batu besar di tengah taman di bawah rindangnya pohon momiji, ditingkah suara gemercik sungai jernih yang membelah desa, ditemani sang istri di sampingnya.
Semangat dari kerinduan
”Kampung halaman di tanah kelahiran memang selalu mendatangkan rindu,” Rustono menjelaskan ketika ditanya tentang lagu favoritnya itu. ”Dan berdendang dengan tiupan saksofon adalah alunan suara jiwa paling dalam,” tambahnya.
Kerinduan akan tanah kelahiran di sebuah kota kecil Grobogan, nun jauh di pedalaman Jawa Tengah dengan hamparan sawah dan hutan jati, rupanya masih saja mengusik Rustono meskipun sudah 13 tahun dia menetap di Jepang.
Bagi Rustono yang alumnus Akademi Perhotelan Sahid (masuk tahun 1987), kerinduan tersebut bukanlah bernuansa sendu berlarut-larut, melainkan pembawa semangat menentukan keputusan jalan hidup.
Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta, perubahan jalan hidup mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya, seorang bidadari dari Negeri Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai berkulit kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk sebelah tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang dan mulai menempuh hidup barunya di Kyoto.
Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti sampai ke perusahaan sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan etos kerja karyawan Jepang. Selain penuh tanggung jawab, mereka juga berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga kualitas produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik memeriksa kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan kebersihan ruangan, termasuk peralatan dan meja kerja.
Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan diproduksi di Jepang dan industrinya sangat maju. Terbetik dalam pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang belum ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.
Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah dia kenal. Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat tempe, dengan ragi dari Indonesia dan kedelai Jepang, tetapi selalu gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber mata air di kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.
Perjalanan panjang
Jalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah panjang dan terjal. Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe, dia belum yakin benar. Pastilah itu bukan hanya karena menggunakan air asli dari mata air langsung.
Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan izin istrinya Rustono kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin tempe di seluruh Jawa.
Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia pembuatan tempe, tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman para perajin tempe di Jawa Tengah. Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus dengan daun bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.
Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan bertanggung jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan bahwa kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging, termasuk mematuhi peraturan daur ulang kemasan.
Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal menghadapi iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah di Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai kelembaban udara yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi, lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia bisa mengatur kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.
Peralatan produksi juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci kedelai dia modifikasi dari bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia dapat dari perusahaan perikanan. Begitu pula untuk pengemasan, dia datangkan mesin bikinan Bantul dan Surabaya.
The King of Tempe
Meskipun julukan ini hanya gurauan teman-teman sejawatnya, rasanya memang tak ada yang salah. Kini kapasitas produksi Rustono setiap lima hari bisa mencapai 16.000 bungkus tempe dengan kemasan 200 gram. Untuk mendukung produksi, dia mengadakan kontrak kerja sama dengan petani kedelai di Nagahama, kawasan Shiga.
Dari peta penyebaran Rusto’s Tempeh yang tertera di ruang kerjanya, terlihat konsumennya tersebar di kota-kota hampir seluruh Jepang. Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan masyarakat Jepang sendiri, konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.
Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran dari pintu ke pintu. Rumah produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan dan tanpa pemikiran arsitektural, tetapi hanya dengan intuisi yang mirip intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang Rustono mencapai taraf pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata air, di atas lahan 1.000 meter persegi.
Penghargaan
Di Jepang sudah banyak buku mengupas tentang tempe. Di antaranya yang terkenal adalah The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap dengan uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar belakang budaya Indonesia, terutama Jawa.
Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi. Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe. Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.
Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan berbagai bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe dan tempura tempe. Yang paling terkenal adalah burger tempe.
Mereka memperkenalkan tempe dengan semboyan ”Makanan enak belum tentu menyehatkan, makanan tidak enak bisa menyehatkan. Tetapi, makanan enak dan menyehatkan adalah tempe!” Terberitakan pula sebuah perusahaan kosmetik memproduksi bahan kecantikan dengan jamur hasil fermentasi tempe ke dalam kapsul yang konon bisa menghaluskan kulit.
Soal hak paten yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang, Rustono menjelaskan, ”Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan burgernya, bukan tempenya.”
19 February, 2010
PLN Merubah tanggal pembayaran + Denda...!
Sistem monopoli pemerintah yang masih membuat rakyat bertekuk lutut adalah Listrik. Sebagai pengelola Listrik = PLN memang membuat masyarakat tak berdaya, apalagi beredar surat yang dikirm ke rumah dan ditempelkan di tempat-tempat pembayaran PLN bahwa per 1 februari pembayaran PLN tidak ada gelombang yang ada adalah pembayaran tanggal 1-10 setiap bulannya dan apabila terlambat kalau dulu dendan hanya Rp 3000,- sekarang keterlambatan akan didenda sesuai Daya yang dimiliki masing-masing pemakai.
Contohnya saya memakai 2,200 VA maka kalau terlambat dendanya Rp 20.000,- berlaku per 1 Maret wiihh keren. BAgaimana dengan pelayanan PLN ya... apa kalau telat kita juga bisa komplain... heheheh pasti takut.. takut diputus. Sejak dipimpin Dahlan Iskan memang PLN ingin melakukan terobosan yang bermanfaat, efisien dan menguntungkan. Masak Perusahaan Monopoli masih rugi terus kan aneh... Hebat sih inovasinya dan tetap didukung walau untuk kebijakan yang denda saya kok nggak setuju ya... (maklum Uang lagi diirit-irit)
Contohnya saya memakai 2,200 VA maka kalau terlambat dendanya Rp 20.000,- berlaku per 1 Maret wiihh keren. BAgaimana dengan pelayanan PLN ya... apa kalau telat kita juga bisa komplain... heheheh pasti takut.. takut diputus. Sejak dipimpin Dahlan Iskan memang PLN ingin melakukan terobosan yang bermanfaat, efisien dan menguntungkan. Masak Perusahaan Monopoli masih rugi terus kan aneh... Hebat sih inovasinya dan tetap didukung walau untuk kebijakan yang denda saya kok nggak setuju ya... (maklum Uang lagi diirit-irit)
14 February, 2010
Lulus Sarjana / S 1 yang Abal-Abal ?
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud M.D. melontarkan tengara banyaknya sarjana dan bahkan guru besar abal-abal alias palsu. ''Semoga kita tidak termasuk orang-orang seperti itu,'' harap Mahfud dalam orasinya di depan para wisudawan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) di kampus Semolowaru kemarin.
Dalam wisuda ke-60 tersebut, Untag mewisuda 336 sarjana (S-1), 169 magister (S-2), dan 18 doktor (S-3). Ikut dikukuhkan dua guru besar, yakni Prof Dr Agus Sukristyanto MS (bidang teori pembangunan) dan Prof Dr Tri Ratnawati SE Ak MS (ilmu akuntansi).
Mahfud menyatakan, ada perbedaan mendasar antara istilah sarjana dan intelektual. Untuk sarjana, cukuplah seseorang lulus dari perguruan tinggi. Sementara itu, intelektual atau cendekiawan adalah orang yang cerdas, berakal baik, dan berpikiran jernih. Intelektual memiliki pengetahuan serta wawasan luas untuk membangun peradaban sosial masyarakat. Intelektual selalu merasa bertanggung jawab dan peduli terhadap keadaan masyarakat sekitar.
Di Indonesia, kata pria asal Madura itu, telah banyak sarjana. Namun, kebanyakan kejahatan kerah putih justru dilakukan para sarjana, bahkan ada yang bergelar profesor. Sebagian besar kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sangat merugikan negara didalangi para lulusan perguruan tinggi. ''Karena itu, jangan jadi lulusan yang abal-abal,'' tegasnya.
Banyak perguruan tinggi yang meluluskan mahasiswanya hanya karena uang. Setahun si mahasiswa sudah mendapat gelar. Cara itu tentu keliru. Tapi, ada saja mahasiswa yang mengambil jalan tersebut. Mahasiswa seperti itu, kata Mahfud, mencari gelar hanya untuk gengsi atau kenaikan strata sosial.
Dan tentunya negara ini tak akan bisa maju kalau Sarajana yang dihasilkan tetap seperti sekarang ini, kebanyakan dari mereka bekerja tidak pada bidangnya dan kalau bisa bekerja enak pasti ada unsur KKN nya.... kasihan negara ini
Dalam wisuda ke-60 tersebut, Untag mewisuda 336 sarjana (S-1), 169 magister (S-2), dan 18 doktor (S-3). Ikut dikukuhkan dua guru besar, yakni Prof Dr Agus Sukristyanto MS (bidang teori pembangunan) dan Prof Dr Tri Ratnawati SE Ak MS (ilmu akuntansi).
Mahfud menyatakan, ada perbedaan mendasar antara istilah sarjana dan intelektual. Untuk sarjana, cukuplah seseorang lulus dari perguruan tinggi. Sementara itu, intelektual atau cendekiawan adalah orang yang cerdas, berakal baik, dan berpikiran jernih. Intelektual memiliki pengetahuan serta wawasan luas untuk membangun peradaban sosial masyarakat. Intelektual selalu merasa bertanggung jawab dan peduli terhadap keadaan masyarakat sekitar.
Di Indonesia, kata pria asal Madura itu, telah banyak sarjana. Namun, kebanyakan kejahatan kerah putih justru dilakukan para sarjana, bahkan ada yang bergelar profesor. Sebagian besar kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sangat merugikan negara didalangi para lulusan perguruan tinggi. ''Karena itu, jangan jadi lulusan yang abal-abal,'' tegasnya.
Banyak perguruan tinggi yang meluluskan mahasiswanya hanya karena uang. Setahun si mahasiswa sudah mendapat gelar. Cara itu tentu keliru. Tapi, ada saja mahasiswa yang mengambil jalan tersebut. Mahasiswa seperti itu, kata Mahfud, mencari gelar hanya untuk gengsi atau kenaikan strata sosial.
Dan tentunya negara ini tak akan bisa maju kalau Sarajana yang dihasilkan tetap seperti sekarang ini, kebanyakan dari mereka bekerja tidak pada bidangnya dan kalau bisa bekerja enak pasti ada unsur KKN nya.... kasihan negara ini
Facebook jadi Petaka
Setelah anaknya melakukan penhinaan terhadap gurunya di sekolah, berakibat dikeluarkan dari sekolah akibat berkomentar di jejaring sosial "facebook" bersama tiga orang temannya yang dituduh menghina salah seorang guru.
"Anak saya sampai saat ini masih terpukul akibat kejadian itu," kata Edy di kediamannya Jalan Brigjend Katamso, Tanjungpinang, Sabtu. Edy merupakan orang tua dari salah seorang siswa SMA 4 Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yang dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menghina salah seorang guru perempuan dengan kata-kata kotor.
Dia menuturkan, anaknya AN bersama tiga orang temannya MA, AR dan YK sudah berusaha meminta maaf kepada guru yang bersangkutan dan kepada pihak sekolah. "Sampai tengah malam mereka dibantu teman-temannya berusaha mendatangi guru-guru di SMA 4 untuk meminta maaf, bahkan mereka mau bersimpuh dihadapan guru-guru tersebut meminta maaf dan menyatakan penyesalan, namun hanya sebagian guru yang bisa ditemui." ujarnya bersedih.
Yang lebih menyedihkan menurut dia, disaat dia dan istrinya melihat anak mereka hanya duduk dilantai depan kelas karena tidak diizinkan mengikuti pelajaran oleh wali kelas. "Saya bersama istri menangis di sekolah tersebut karena melihat anak saya tidak boleh belajar dan hanya duduk di depan teras ruang kelasnya," ujarnya sambil mengusap air mata yang menetes dipipinya.
"Kami juga kecewa kenapa pihak sekolah tidak memberikan sanksi lain selain dikembalikan kepada orang tua, bukan kami membenarkan tindakan anak kami, karena guru adalah orang tua siswa di sekolah," katanya.
Edy mengaku masih trauma mengingat kejadian yang menimpa anaknya tersebut, namun merasa bersyukur anaknya masih diterima disalah satu SMA negeri di Tanjungpinang.
"Kami merasa bersyukur masih diterima disekolah lain, karena sebelumnya salah seorang teman AN sempat ditolak oleh sekolah itu karena sekolah tersebut sudah mendapat laporan dari SMA 4 kalau anak-anak kami melakukan perbuatan itu," ujarnya.
Edy mengaku anaknya tersebut juga aktif di sekolah dan pernah menjadi utusan sekolah mengikuti lomba grafiti tingkat SMA di Kabupaten Bintan dan mendapat juara pertama.
"Dia juga tercatat sebagai anggota Paskibraka Kota Tanjungpinang tahun 2009," ujarnya. Dia berharap, guru-guru di sekolah proaktif dalam memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai kerugian, bahaya maupun keuntungan dari jejaring sosial "facebook" tersebut, agar siswa dapat memahami.
"Sebagai orang tua disekolah, hendaknya guru memberikan pemahaman kepada siswa mengenai bahaya maupun manfaat dari jejaring sosial "facebook" ataupun mengenai pengetahuan dalam mengakses "dunia maya" tersebut," harapnya.
Beginilah jadinya kalau Teknologi belum dimanfaatkan secara maksimal, malah dipakai untuk hal yang sama sekali tidak bermanfaat, guru harusnya memberikan arahan agar siswa-siswi menggunakan facebook dengan baik dan memanfaatkannya lebih maksimal
"Anak saya sampai saat ini masih terpukul akibat kejadian itu," kata Edy di kediamannya Jalan Brigjend Katamso, Tanjungpinang, Sabtu. Edy merupakan orang tua dari salah seorang siswa SMA 4 Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yang dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menghina salah seorang guru perempuan dengan kata-kata kotor.
Dia menuturkan, anaknya AN bersama tiga orang temannya MA, AR dan YK sudah berusaha meminta maaf kepada guru yang bersangkutan dan kepada pihak sekolah. "Sampai tengah malam mereka dibantu teman-temannya berusaha mendatangi guru-guru di SMA 4 untuk meminta maaf, bahkan mereka mau bersimpuh dihadapan guru-guru tersebut meminta maaf dan menyatakan penyesalan, namun hanya sebagian guru yang bisa ditemui." ujarnya bersedih.
Yang lebih menyedihkan menurut dia, disaat dia dan istrinya melihat anak mereka hanya duduk dilantai depan kelas karena tidak diizinkan mengikuti pelajaran oleh wali kelas. "Saya bersama istri menangis di sekolah tersebut karena melihat anak saya tidak boleh belajar dan hanya duduk di depan teras ruang kelasnya," ujarnya sambil mengusap air mata yang menetes dipipinya.
"Kami juga kecewa kenapa pihak sekolah tidak memberikan sanksi lain selain dikembalikan kepada orang tua, bukan kami membenarkan tindakan anak kami, karena guru adalah orang tua siswa di sekolah," katanya.
Edy mengaku masih trauma mengingat kejadian yang menimpa anaknya tersebut, namun merasa bersyukur anaknya masih diterima disalah satu SMA negeri di Tanjungpinang.
"Kami merasa bersyukur masih diterima disekolah lain, karena sebelumnya salah seorang teman AN sempat ditolak oleh sekolah itu karena sekolah tersebut sudah mendapat laporan dari SMA 4 kalau anak-anak kami melakukan perbuatan itu," ujarnya.
Edy mengaku anaknya tersebut juga aktif di sekolah dan pernah menjadi utusan sekolah mengikuti lomba grafiti tingkat SMA di Kabupaten Bintan dan mendapat juara pertama.
"Dia juga tercatat sebagai anggota Paskibraka Kota Tanjungpinang tahun 2009," ujarnya. Dia berharap, guru-guru di sekolah proaktif dalam memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai kerugian, bahaya maupun keuntungan dari jejaring sosial "facebook" tersebut, agar siswa dapat memahami.
"Sebagai orang tua disekolah, hendaknya guru memberikan pemahaman kepada siswa mengenai bahaya maupun manfaat dari jejaring sosial "facebook" ataupun mengenai pengetahuan dalam mengakses "dunia maya" tersebut," harapnya.
Beginilah jadinya kalau Teknologi belum dimanfaatkan secara maksimal, malah dipakai untuk hal yang sama sekali tidak bermanfaat, guru harusnya memberikan arahan agar siswa-siswi menggunakan facebook dengan baik dan memanfaatkannya lebih maksimal
11 February, 2010
Facebook senang Facebook malang
Beberapa hari ini kita semua disuguhi berita yang sangat menyedihkan, dimana sebuah kemajuan teknologi dengan menggunakan jejaring sosial salah satunya facebook membuat anak-anak, remaja berani lari dari rumah dan pergi dengan orang yang dikenal hanya lewat facebook. Bahakan mereka menulis sudah berpacaran walau tak bertemu. Perkembangan teknologi memang sulit dibendung dan membuat manusia lebih mudah berinteraksi tanpa harus langsung ketemu dengan orang dimanapun mereka berada.
Sebenarnya kasus seperti ini bisa terjadi karena sebagian besar adalah kesalahan orang tua. Kebanyakan dari mereka merasa ingin mengawasi anaknya, membatasi dan lainnya. pada saat tertentu mungkin ini benar tapi pada saat yang lain ini bisa salah kaprah. Kesedihan anak, terpojok, merasa disalahkan dan merasa tidak ada yang membela mengakibatkan anak mencari pelarian curhat ke orang yang mau menerima dirinya dengan segala kekurangan dan kesedihannya. SO bagaimana mengatasinya ?
menurut saya mungkin ini bisa digunakan sebagai tips orang tua agar anak-anak tidak terlalu masuk ke dunia maya khususnya jejaring sosial :
1. Berilah selalu nasehat yang membangun dengan nada motivasi
2. tanya apa saja kelebihan dan kekurangan kita sebagai orang tua
3. ketahui siapa saja teman dari anak kita baik di offline maupun online.
4. sebagai orang tua jangan gaptek (terus berbenah diri dan belajar)
Sebenarnya kasus seperti ini bisa terjadi karena sebagian besar adalah kesalahan orang tua. Kebanyakan dari mereka merasa ingin mengawasi anaknya, membatasi dan lainnya. pada saat tertentu mungkin ini benar tapi pada saat yang lain ini bisa salah kaprah. Kesedihan anak, terpojok, merasa disalahkan dan merasa tidak ada yang membela mengakibatkan anak mencari pelarian curhat ke orang yang mau menerima dirinya dengan segala kekurangan dan kesedihannya. SO bagaimana mengatasinya ?
menurut saya mungkin ini bisa digunakan sebagai tips orang tua agar anak-anak tidak terlalu masuk ke dunia maya khususnya jejaring sosial :
1. Berilah selalu nasehat yang membangun dengan nada motivasi
2. tanya apa saja kelebihan dan kekurangan kita sebagai orang tua
3. ketahui siapa saja teman dari anak kita baik di offline maupun online.
4. sebagai orang tua jangan gaptek (terus berbenah diri dan belajar)
02 February, 2010
Kebun Binatang Surabaya (KBS) oh nasibmu...
Setelah lama sekali (kurang lebih 2 tahun) saya dan keluarga tidak mengunjungi Kebun Binatang Surabaya, minggu tanggal 31 Januari kemarin akhirnya kesana (dapat traktiran dari temannya Umi). Berangkat dari Sidoarjo pukul 08.00 WIB dengan membawa semua perbekalan naik mobil Katan dengan membawa 5 anak-anak dan 3 orang dewasa (termasuk saya sama istri saya).
Sampai di Kebun Binatang Surabaya/ KBS sudah banyak sekali orang yang ingin masuk, maklum kan liburan semester, parkir mobil dan sepeda motor sudah antri. Banyak sekali orang yang ingin menikmati hari liburnya bersama anak-anak mereka. iket masuknya Rp 10.000,- / orang dengan usia minimal 3 tahun harus bayar penuh. Setelah masuk kita akan disuguhi Berbagai macam burung.
Setelah beberapa saat kami berjalan ketemu Aquarium, nah kalau masuk disini juga bayar @Rp 3.000,- didalamnya berisi Kura-kura, berbagai macam ikan, ULar dan lainnya. SAyang sekali mulai masuk di pintu awal sampai di Aquarium ini ada sesuatu yang memprihatinkan. KAndang para binatang ini kelihatan kumuh. Tulisan yang seharusnya bisa dibaca/ menerangkan tentang hewan juga terlihat kusam bahkan banyak yang hilang. Tahu nggak aurium tempat ikannya, sama persis ketika saya masuk kebun binatang ini 20 tahun yang lalu, sepertinya memang dibiarkan begitu. Perawatan hewan juga kurang maksimal, terlalu minimal. BAgaimana ya bisa disebut kebun binatang kalau koleksi hewannya itu-itu saja ? Kalau saya baca dan dengar di beberapa media sih katanya pengurus KBS ini masih belum jelas, sering terjadi saling klaim. Heran.... Oh iya di area sini anak saya yang kecil minta foto sama ular.... saya agak merinding juga tapi berani deh demi anak.
BTW anyway busway.. kami semua langsung menuju ke tempat naik Gajah. Jelas anak-anak ingin naik. Ketika beli tiket eh... berebut.. nggak antri Biaya naik gajah @Rp5.000,- disini juga mau naik harus antri panjang sekali... kurang lebih 30 menit saya antri akhirnya bisa naik gajah. Senang sekali anak-anak saya juga lho. Selesai naik gajah gelar tikar dulu eh.. tikarnya nggak kebawa jadi pakai alas kertas minyak makanan deh. nggak pa pa.. yang penting makan, dengan lauk ayam chicken plus mie goreng
Selesai makan baru kita melanjutkan perjalanan, melihat rumah gajah, harimau, beruang, lalu berhenti di tempat si kancil... kasih makan kacang... anak-anak seneng banget. Terakhir naik perahu. Karena banyak orang perahu sampai fulll.... Sebenarnya ingin naik flying fox (anak pertama saya) tapi berhubung antrinya banyak yah tidak jadi... kapan-kapan kesini lagi dah...
Sampai di Kebun Binatang Surabaya/ KBS sudah banyak sekali orang yang ingin masuk, maklum kan liburan semester, parkir mobil dan sepeda motor sudah antri. Banyak sekali orang yang ingin menikmati hari liburnya bersama anak-anak mereka. iket masuknya Rp 10.000,- / orang dengan usia minimal 3 tahun harus bayar penuh. Setelah masuk kita akan disuguhi Berbagai macam burung.
Setelah beberapa saat kami berjalan ketemu Aquarium, nah kalau masuk disini juga bayar @Rp 3.000,- didalamnya berisi Kura-kura, berbagai macam ikan, ULar dan lainnya. SAyang sekali mulai masuk di pintu awal sampai di Aquarium ini ada sesuatu yang memprihatinkan. KAndang para binatang ini kelihatan kumuh. Tulisan yang seharusnya bisa dibaca/ menerangkan tentang hewan juga terlihat kusam bahkan banyak yang hilang. Tahu nggak aurium tempat ikannya, sama persis ketika saya masuk kebun binatang ini 20 tahun yang lalu, sepertinya memang dibiarkan begitu. Perawatan hewan juga kurang maksimal, terlalu minimal. BAgaimana ya bisa disebut kebun binatang kalau koleksi hewannya itu-itu saja ? Kalau saya baca dan dengar di beberapa media sih katanya pengurus KBS ini masih belum jelas, sering terjadi saling klaim. Heran.... Oh iya di area sini anak saya yang kecil minta foto sama ular.... saya agak merinding juga tapi berani deh demi anak.
BTW anyway busway.. kami semua langsung menuju ke tempat naik Gajah. Jelas anak-anak ingin naik. Ketika beli tiket eh... berebut.. nggak antri Biaya naik gajah @Rp5.000,- disini juga mau naik harus antri panjang sekali... kurang lebih 30 menit saya antri akhirnya bisa naik gajah. Senang sekali anak-anak saya juga lho. Selesai naik gajah gelar tikar dulu eh.. tikarnya nggak kebawa jadi pakai alas kertas minyak makanan deh. nggak pa pa.. yang penting makan, dengan lauk ayam chicken plus mie goreng
Selesai makan baru kita melanjutkan perjalanan, melihat rumah gajah, harimau, beruang, lalu berhenti di tempat si kancil... kasih makan kacang... anak-anak seneng banget. Terakhir naik perahu. Karena banyak orang perahu sampai fulll.... Sebenarnya ingin naik flying fox (anak pertama saya) tapi berhubung antrinya banyak yah tidak jadi... kapan-kapan kesini lagi dah...
Subscribe to:
Posts (Atom)